Dalami Makna Literasi Lewat Diskusi
19 Juni 2020 bertepatan hari Jumat, menjadi hari yang bersejarah bagi Penapergerakan.id. Sebab pada tanggal tersebut komunitas yang beranggotakan para pegiat literasi Dynamic Generation merayakan peluncuran perdananya. Perayaan dilakukan dengan diskusi bersama lima panelis, serta pengenalan komunitas oleh ketua Penapergerakan.id, Azhar Afif. Acara semakin meriah dengan pemandu acara yang kompeten, dialah salah satu alumni Gontor Putri (GP) tahun 2013, Septrida Kurniawati.
Lebih lanjut, dengan mengusung tema, “memaknai literasi dari segi
ontologi, epistimologi, dan aksiologi”, Penapergerakan.id mengajak para peserta
diskusi untuk bersama-sama mengulik makna literasi. Bukan tanpa alasan, tim
pengembangan dan penelitian komunitas memilih tema tersebut sebab keresahan
yang dirasakan akibat pesimistis masyarakat ketika mendengar kata literasi. Sebagian
orang berasumsi bahwa literasi hanya bisa digeluti oleh para cendekiawan yang
memiliki pemikiran tinggi. Padahal makna literasi tak sesederhana dan
semenyeramkan itu.
Acara dimulai tepat pukul 15.30 WIB, dengan kalimat pembuka dari
moderator terkait tema diskusi dan pengenalan para panelis. Lebih spesifik,
pembicara yang ditunjuk tak lain adalah para anggota Dynamic Generation yang
telah berkecimpung di dunia literasi. Kelima panelis memiliki ranah literasi
yang berbeda-beda, di antaranya penulis novel yang mahir di bidang literasi
fiksi, lalu pewarta media nasional yang berpengalaman di dunia literasi
jurnalistik, serta seorang akademisi yang menguasai literasi ilmiah.
Diawali oleh pernyataan moderator, bahwa literasi merupakan seperangkat kemampuan
dan kemahiran yang nyata, khususnya keterampilan kognitif.
Oleh karenanya, literasi menjadi salah satu hal penting seseorang untuk mengekspresikan
diri. Dari pernyataan tersebut, panelis yang tak lain seorang penulis, Khasbi
El Malik menanggapi bahwa pemahaman
literasi harus dimiliki setiap orang, sebab menjadi salah satu bagian dari
aspek gerbang pemahaman atas ilmu - ilmu lainnya.
Tak hanya itu, Khasbi menerangkan bahwa cikal bakal lahirnya peradaban
tidak luput dari dua hal esensial yang tidak dapat dipisahkan, yakni kemampuan membaca dan
menulis. Selain
itu, kemampuan berliterasi membawa bangsa berperadaban tinggi. Lebih lanjut,
jika menelisik jenis peradaban hari ini, terdapat dua kubu yang saling
mendominasi. Kedua kubu peradaban tersebut tak lain adalah barat dan Islam. “Kita
sebagai santri haruslah mengembangkan literasi Islam, karena dengan literasi kita bisa
malampaui peradaban Barat.” Ujarnya, Jumat (19/06).
Senada dengan Khasbi, seorang panelis dari latar belakang akademisi,
Fadhila Tianti mengatakan bahwa literasi
dalam dunia akademik adalah
Juz’un Laa Yatajazaa’ (hal yang
tak dapat dipisahkan). Artinya dunia akademik dan literasi tidak bisa
dipisahkan satu sama lain, alih-alih literasi adalah jiwa, nafas, dan urat nadi perguruan tinggi. Tak
ayal, perguruan tinggi tanpa
literasi bisa mati.
Bahkan di
level yang lebih rendah seperti sekolah menengah, kegiatan literasi cukup mengantarkan
murid
agar bisa membaca dan menulis dengan pemahan yang baik.
“Intinya
Literacy Everywhere!”
ungkapnya, Jumat (19/06).
Selanjutnya, panelis yang tak lain adalah seorang penulis novel
berprestasi, Muhammad Kamal Ihsan mengamini keterangan Khasbi dan Fadhila.
Bahkan ia menambahkan, bahwa peranan komunitas literasi sangat penting
keberadaannya. Sebab dengan komunitas, membangkitkan semangat para anggota
dalam berliterasi dan member manfaat bagi khalayak umum. Seperti halnya
Penapergerakan.id, keberadaannya menjembatani para pegiat literasi Dynamic
Generation untuk mengembangkan minatnya. Terlebih Penapergerakan.id memiliki
misi untuk membangkitkan semangat berliterasi dalam ranah keislaman.
Tak hanya itu, lelaki yang akrab disapa Kamal tersebut mengungkapkan bahwa
literasi bukanlah hal yang sulit seperti perspektif sebagian orang. Alasannya,
jika seseorang sering berlatih menulis dan membaca buku setiap hari pasti akan
terbiasa untuk memahami literatur. Bahkan dia pun memberi saran kepada santri
Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) untuk tidak meremehkan pelajaran Bahasa
Indonesia pada tahun pertama. Sebab, memahami Bahasa Indonesia dengan baik dan
benar menjadi salah satu bekal ketika berkecimpung di dunia kerja pasca alumni.
Berbeda dengan Kamal, salah satu pembicara yang tak lain berprofesi
sebagai pewarta, Dewi Sholeha Maisaroh membantah bahwa makna literasi bagi
jurnalis bukan sekadar membaca dan menulis, namun lebih luas. Sebab membaca tak
hanya melihat bacaan, akan tetapi juga harus memahami isinya. Bahkan membaca
dapat dijabarkan dengan melihat situasi, memahami kondisi, mengenal persis
teori dan sebagainya. Begitupun dengan menulis, jika seseorang tak dapat
memahami bacaan dengan baik, niscaya akan sulit mengolahnya ke dalam tulisan.
Maka seseorang disebut lihai dalam berliterasi jika memiliki kemampuan memahami
dan mengolah suatu informasi apapun.
Lebih lanjut, Dewi menerangkan bahwa literasi dan jurnalistik adalah
suatu hal yang sangat erat hubungannya. Sebab produk utama dari jurnalistik
adalah berita, maka tak heran jika pewarta disebut juga dengan jurnalis.
Seorang pewarta yang mahir, pasti memiliki kemampuan literasi yang baik. Bukan
tanpa alasan, jika jurnalis tak bisa memahami keadaan dengan baik, dan tak pandai
membaca peristiwa, tentu tidak akan dapat mengolah berita dengan baik. Sehingga
penyampaian pada publik pun tak maksimal.
Serupa dengan Dewi, penulis serta ketua Persatuan Pelajar Indonesia
(PPI) Turki, Usamah Abdurahman menuturkan bahwa pada era globalisasi, terdapat berbagai kemudahan
dalam mengakses berita. Jika seseorang tidak memiliki kemampuan berliterasi
yang baik, maka akan mudah sekali termakan hoaks. Imbasnya tidak akan bisa
membedakan antara fakta dan hoaks, sehingga kerap terjadi fitnah yang merugikan
banyak orang.
Tak ayal, kemampuan literasi jurnalistik seharusnya dimiliki oleh semua
orang bukan hanya wartawan. Usamah juga berharap dengan adanya komunitas
Penapergerakan.id, dapat memberikan manfaat lewat unggahan tulisan yang anti hoaks.
Dia juga ingin agar penapergerakan.id serius dalam mengunggah tulisan dengan
memiliki kode etik penulisan dan memperhatikan segi kepantasannya. “Ibarat
lidi, jika hanya satu batang tidak akan bisa dipergunakan, maka kita (anggota
komunitas) harus bersatu agar hoaks di luar sana terluruskan.” Tandasnya, Jumat
(19/06).
Setelah kelima panelis mengutarakan pendapat masing-masing, moderator
pun mulai membuka sesi tanya jawab. Pertanyaan pertama dilontarkan oleh salah
satu peserta anggota komunitas, Qoid
Abdillah. Dia menanyakan terkait cara menumbuhkan minat baca dan tulis di PMDG.
Kamal selaku panelis pun menjawab dengan memberi solusi agar PMDG senantiasa
mengadakan lomba dan acara semi formal terkait literasi semisal menulis diary.
Terlebih pada keterampilan menulis, seyogianya para guru dapat menginisiasi
pembelajaran yang menyenangkan di dalam maupun luar kelas.
Sama halnya dengan Kamal, Khasbi pun turut menanggapi pertanyaan. Dia
menegaskan bahwa, membaca bukan hal yang membosankan, begitu juga dengan
menulis bukanlah hal yang sulit. Para santri PMDG bisa memulainya dengan
membaca dan mendiskusikan tema bacaan yang mereka sukai, ataupun menulis
sederhana semisal catatan harian, dan cerita pendek. Dengan begitu, minat literasi santri di PMDG
akan meningkat. “Menulislah
dimulai dari
apa yang kita sukai.” Imbuhnya.
Lalu dilanjutkan pertanyaan kedua oleh seorang akademisi, Laili Mas
Ulliyah Hasan. Menurutnya, literasi bukan hanya menyoal baca dan tulis,
melainkan harus menguasai empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. “Jadi
empat keterampilan itu berkesinambungan, akan tetapi dari panelis sendiri
selalu mengatakan hanya membaca dan menulis saja yang harus diperhatikan!”
pungkasnya, Jumat (19/06).
Setuju dengan pernyataan Laili, Dewi pun menambahkan bahwa menulis dan membaca
merupakan dua hal yang berbeda begitupun dengan menyimak dan berbicara. Akan
tetapi keempat keterampilan tersebut memiliki ikatan jika sama-sama dilatih dan
dibiasakan. “Noam Chomsky memiliki teori transformatif generatif, yang mana
seseorang pandai berbahasa jika kompetensi dan performasi seimbang, jadi semua
harus diperhatikan.” Imbuhnya. Yang dimaksud kompetensi yaitu kemampuan
menyimak dan membaca, sedangkan performasi yakni kemahiran dalam berbicara dan
menulis.
“Membaca dan menulis sangat diperhatikan, karena dua hal tersebut merupakan
jenis komunikasi tidak langsung.” Ujar Dewi sebagai kalimat penutup diskusi.
Setelah dirasa cukup, moderator pun memberi apresiasi kepada seluruh panelis
dan mempersilakan ketua Dynamic Generation, Triyono untuk meresmikan komunitas
secara simbolis. Triyono juga mengimbau kepada warga Dynamic Generation untuk
terus berkarya dan semangat mengembangkan literasi keislaman. Tepat pukul 17.30
WIB, acara ditutup dengan doa dan sesi foto virtual bersama.
Penulis: Laili Mas Ulliyah Hasan
Editor: Dewi Sholeha Maisaroh
Komentar
Posting Komentar