INDONESIA TAHUN 2050: MEMBACA OPTIMISME SEJARAWAN ANTHONY REID
Oleh: Mikael Marasabessy
Biografi Singkat Sang Sejarawan
Anthony Reid merupakan seorang sejarawan asal New Zealand yang lahir pada 19 Juni 1939. Beliau bekerja sebagai direktur di Asia Research institute di National University of Singapore. Sebelumnya, beliau pernah belajar di Cambridge, dan menjadi peneliti di University Malaya (Kuala Lumpur, 1965 – 1970), Australian National University (Canberra, 1970 – 1999), dan sudah banyak memberikan kuliah sejarah di beberapa universitas seperti; Yale, Oxford, dan Auckland, dan lainnya. Mendapatkan penghargaan pada tahun 2002 dalam Fukuoka Asian Culture Prize pada kategori akademik. Beliau juga dikenal sebagai orang yang cukup fokus dalam kajian Asia Tenggara, terutama Indonesia. Beberapa karya beliau yang dapat kita baca hari ini yang sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia diantaraya ialah: “Sumatra: Revolusi dan Elite Tradisional” terjemahan dari buku yang berjudul “The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (1979)”, “Asal Mula Konflik Aceh” terjemahan dari buku yang berjudul “The Contest for North Sumatra Acheh”, “The Netherlands and Britain 1858 – 1898 (1969)”. Adapun buku yang masih berbahasa Inggris diantaranya: “Charting The Shape of Early Modern Southeast Asia (1999)”, “Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia (2010)”, “The Indonesian National Revolution (1974)”, dan masih banyak lagi tulisan beliau dalam jurnal internasional tentang Asia Tenggara maupun Indonesia.
Benang Merah Bangkitnya Indonesia: Perspektif Sejarah
Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Reid yang berjudul “Indonesia’s New Prominence in the World” yang sebetulnya bukanlah tulisan mengenai sejarah Indonesia. Tulisan ini lebih merupakan optimisme sejarawan Reid terhadap masa depan Indonesia. Indonesia yang telah lama mengandung, akan melahirkan raksasa, raksasa di benua Asia sebagaimana judul besar buku ini “Indonesia Rising : The Repostioning of Asia’s Third Giant”. Buku yang merupakan manifestasi apa yang mereka sebut dengan “The Indonesia Project”, yang berusaha memaparkan analisa perkembangan terakhir ekonomi di Indonesia. Buku ini ditulis oleh banyak pemikir seperti: M. Chatib Basri, R.E. Elson, Frank Jotzo, Ross Garnaut, Gareth Evans, dan tentunya Anthony Reid, sebagai kontributor sekaligus editor. Reid dengan sebuah kalimat pembuka dalam tulisannya “Goodbye China, Hello Indonesia” memperlihatkan optimismenya terhadap Indonesia untuk maju di masa depan, bahkan melebihi negeri tirai bambu.
Diawal, Reid menggunakan pendekatan sejarah untuk menganalisis perkembangan ekonomi Indonesia kedepan. Beliau memaparkan beberapa kontribusi Indonesia di masa lampau kepada dunia, adapun sumbangan tersebut tidaklah banyak, tetapi bukan berarti sumbangan tersebut tidak berarti. Contoh kecil yang Reid ambil untuk memperkuat kenyataan tersebut ialah kontribusi Indonesia dalam budaya dan seni:
“The major Indonesian contributions to global civilization in recent centuries were Javanese music which famously influenced Claude Debussy and Erik Satie through the Paris Exposition of 1889, and Javanese and Balinese graphic arts and dance, starting with Gauguin at the same Paris Exposition. In the twentieth century Bela Bartok, Francis Poulenc, Oliver Messiaen, Piere Boulez, and Benjamin Britten, and more profoundly the Canadian colin McPhee and the Australian peter Sculthrope, introduced gamelan themes pr instruments into their work.”
Selanjutnya Reid menegaskan bahwa kontribusi Indonesia yang jumlahnya sedikit merupakan akibat dari kolonialisme Belanda, serta penggunaan bahasa Belanda yang kurang populer, karena itu tidak bisa banyak menampakan kelebihan Indonesia. Jikalau berandai-andai, tanpa adanya masa kolonialisme, Indonesia hari ini akan sangat populer dan berpengaruh. Kenyataan bahwa Indonesia terperangkap oleh kolonialisme ratusan tahun, berdampak buruk bagi perkembangan Indonesia hari ini. Tetapi jangan berkecil hati, fakta bahwa Indonesia masih memiliki akar sebagai sebuah kesatuan besar yaitu Sriwijaya dan Majapahit adalah sebuah contoh yang relevan bagi satu masa kedigdayaan Indonesia yang mungkin saja terulang kembali. Kemudian Reid juga membahas dinamika negara Indonesia yang akan mengalami “Deviden Demografis”, tentunya hal ini akan menjadi faktor yang mempengaruhi jumlah pekerja produktif di masa depan:
“In common with other southeast Asian countries such as Vietnam and Thailand, Indonesia is beginning to enjoy a so-called ‘democgraphic deviden’ stemming from the rapid reduction in the birth rate in the late Soeharto period. In consequence the current decade will be particularly favourable for Indonesia. The proportion of the population of productive working age is expected to 100 workers. This will compare with about 53 in India, 54 in the Philipines, 56 in the United States and United Kingdom and 68 in Japan.”
Intinya, yang menjadi menarik dari tulisan Reid dan kumpulan tulisan tersebut adalah sebuah hipotesis bahwa di tahun 2050 Indonesia akan menjadi negara ketiga terbesar di Asia. Menakjubkan.
Menuju 2050
Selain membahas mengenai beberapa faktor yang menjadi optimisme-nya terhadap kemajuan Indonesia di 2050, Reid dalam tulisannya juga mengemukakan beberapa tantangan yang harus Indonesia hadapi untuk menuju kesana. Yang pertama ialah, warisan sistem yang bobrok dari rezim pemerintahan Soeharto, mulai dari sistem pendidikan, politik yang semrawut, pers; tidak bebas dan ekonomi; budaya korupsi di pemerintahan dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan bangsa ini dalam keadaan yang mengenaskan dan perlu bekerja keras untuk menjadi yang raksasa di Asia, menjadi negara yang besar dan berkembang. Walaupun sekali lagi jalan menuju kesana menurut Reid sudah mulai tampak.
Kedua, tidak banyak orang Indonesia yang menuliskan hal-hal mengenai negaranya; sejarah, budaya, politik dan lainnya di jurnal Internasional. Padahal sudah ada beberapa sarjana yang berada di luar negeri, belajar, mengajar bahkan melakukan penelitian. Kebanyakan yang menulis tentang Indonesia jutsru dari orang diluar Indonesia. Hal ini berdampak pada kurang dikenalnya Indonesia di mata dunia.
“There are few scholars left in the country’s universities who research and teach on any other country than Indonesia. And yet nearly 90 per cent of the writing on Indonesia itself in International scholarly journals is written by people who are not based in the country, making Indonesia one of the least effective countries at explaining itself to the world.”
Ketiga, permasalahan korupsi di Indonesia yang sudah mendarah daging ialah salah satu masalah yang dapat menghambat perkembangan Indonesia. Korupsi dapat dikatakan mendarah daging di Indonesia karena memiliki akar sejarah yang cukup lama sebagai bagian daripada praktik yang biasa dilakukan oleh aparatur sipil negara dari tingkat bawah sampai atas. Dan untuk mencabut hal tersebut sangat sulit dan perlu usaha yang lebih, Reid juga memuji pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang aktif dalam memerangi korupsi, Reid juga mengemukakan diantara praktik korupsi yang paling berbahaya ialah korupsi yang mengatas namakan nasionalisme; The type of corruption that may be the most harmful to economic policy making – and widespread in democracies – is the inordinate influence of corporate vested interests under the guise of nationalism.
Keempat, adalah permasalahan pemimpin. Sebagai negara muslim yang paling banyak populasinya, Indonesia gagal mencetak pemimpin-pemimpin muslim (dalam hal ini; yang memahami Islam sebagai ruh dalam bernegara). Hal ini juga yang menjadikan penulis kagum dengan seorang Anthony Reid yang berani mengungkapkan hal yang menurut penulis juga merupakan masalah yang sangat besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dalam tulisannya Reid meminjam istilah Martin Van Bruinessen ; “Indonesian muslims simply do not have a habit of leading”. Reid juga menambahkan diantara sebab permasalahan tersebut ialah sebagaimana apa yang disebutkan oleh R.E. Elson; a lack of confidence in the legitimacy of Indonesia’s distinct identity, which must be overcome for the country to play a role in the world that is commensurate with its size .
Keempat tantangan yang dikemukakan Reid tersebut penulis anggap sebagai wujud kepedulian Anthony Reid terhadap bangsa Indonesia, dan bagi penulis sangat mungkin sekali, dengan memperbaiki keempat hal diatas Indonesia benar-benar maju. Selain itu sikap optimisme dan opini Anthony Reid diatas penulis nilai sebagai pemecut bagi bangsa ini; apakah optimisme Reid akan terwujud?, apakah Indonesia akan menjadi negara digdaya tahun 2050?, jawabannya sebetulnya kembali kepada diri kita sebagai bangsa Indonesia, apakah kita mau maju dan memperbaiki diri, atau tetap seperti ini saja, atau bahkan mundur, yang jelas dalam sebuah riwayat: Barang siapa yang harinya sekarang lebih baik dari kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung, barang siapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia merugi, dan barang siapa yang harinya lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia celaka.[1] Wallahu a’lam
[1] Dalam pandangan penulis riwayat ini dapat berlaku tidak hanya pada perorangan tetapi juga kolektif; masyarakat dan negara.
Komentar
Posting Komentar