REVITALISASI GAGASAN CINTA MOHAMMED SAID RAMADAN AL BOUTI UNTUK MEMPERKUAT PENGARUH MODERASI ISLAM
Muhammad
Kamal Ihsan, Lc.
Kamalihsan687@gmail.com
Islam adalah salah satu fragmen terbesar dalam sejarah dunia.
Pengaruh dan dominasinya secara cepat
dikenal dan dirasakan oleh masyarakat dunia melalui prinsip, ajaran, karakter,
dan tingkah laku para penganutnya. Sehingga, pertumbuhan dan perkembangan populasi
penganutnya semakin menguat dari hari ke hari di berbagai belahan dunia. Di
antara karakteristik Islam yang secara eksplisit Allah sebutkan dalam al-Quran
adalah al-Wasathiyyah al- Islamiyyah atau
moderasi Islam. Sebuah prinsip yang mempunyai aksentuasi pada penerapan konsep Tawassuth (mengambil jalan tengah),
yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath
(berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith
(mengurangi ajaran agama) serta konsep Tawazun
(berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang
yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam
menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan,) dan ikhtilaf
(perbedaan).1Hingga dengan penerapan prinsip ini, Islam terkenal
dengan karakter filantropi yang menitikberatkan pada cinta kasih, toleransi,
dan kedermawanan terhadap sesama tanpa membedakan suku, ras, bangsa, dan agama.
Di tengah problematika zaman yang terus berkembang, Islam sebagai
sebuah agama yang menjadi problem solver dituntut
untuk mampu mengembangkan metodologi penyelesaian masalah-masalah pada zaman
ini secara relevan. Islam juga dituntut mampu beradaptasi sesuai dengan hela
nafas perkembangan manusia karena Islam bukanlah monumen mati hasil pahatan
abad ke-7 masehi yang haram “disentuh” oleh pemikiran dan permasalahan baru.
Maka dalam prakteknya, Islam adalah agama yang menganut prinsip eksoterisme. Di
mana Islam membuka peluang untuk dapat melakukan berbagai macam penelitian, kajian, kritik dan diskusi
terkait persoalan agama secara mendalam. Dalam pelaksanaannya di ruang publik,
dalam menyikapi suatu problema, Islam tidak hanya menggunakan satu prespektif
saja, melainkan berbagai pendekatan-pendekatan yang holistik sebagai solusi
bagi masyarakat dunia yang majemuk.
Dalam pandangan Islam, moderasi tidak dapat tergambar wujudnya kecuali
setelah terhimpun dalam satu kesatuan unsur pokok, yaitu: kejujuran,
keterbukaan, kasih sayang dan keluwesan. Maka tidak heran jika dalam organisasi
Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia) pada saat menyelenggarakan
konferensi internasional di Mekah yang dihadiri oleh 500 cendekiawan muslim
dari 66 negara menjadikan prinsip-prinsip di atas sebagai tema dalam acara
tersebut (Muchlis: 2013).
Namun, dewasa ini muncul fenomena-fenomena yang mencoreng prinsip
moderasi Islam, yang berindikasi pada depresiasi nilai-nilai moderasi Islam
tersebut. Hal itu dibuktikan dengan maraknya perilaku-perilaku radikalisme
fundamentalis literalis di kalangan umat Islam sendiri. Hal ini ditandai dengan
corak penafsiran agama secara radikal fundamental yang mempunyai empat ciri
khas, yaitu pertama, sikap tidak
toleran dan tidak mau menghargai pendapat serta keyakinan orang lain. Kedua, fanatik dan selalu merasa benar
sendiri lalu menganggap orang lain salah. Ketiga,
eksklusif yaitu membedakan diri dari umat Islam pada umumnya. Keempat, bersikap revolusioner dan
cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan, serta sikap
memahami teks keagamaan secara teksual dan parsial serta mengabaikan nilai-nilai
modernitas Islam.
Padahal secara prinsip, Islam dengan paham moderasi berupaya untuk
menjaga seseorang dari kecenderungan menuju dua sikap ekstrem; sikap berlebih-lebihan
(ifrath) dan sikap muqashshir yaitu mengurang-ngurangi
sesuatu yang dibatasi Allah Swt. Salah satu yang menjadi faktor penyebab
terjadinya degradasi nilai moderasi Islam adalah hilangnya paham asketisisme
cinta atau paham yang mempraktikkan kesederhanaan dalam mencintai sesuatu. Maka
tepat kiranya jika kita melaksanakan revitalisasi gagasan cinta yang pernah
dicetuskan oleh Dr. Mohammed Said Ramadan Al-Bouti dalam karyanya Al-Hubb Fil Qur‟an wa Daurul Hubb fi Hayatil
Insan.
Upaya Revitalisasi gagasan al-Bouti ini guna mewujudkan moderasi islam
bertumpu pada tiga gagasan, yaitu; pertama,
konsep persaudaraan antar sesama manusia yang akan selalu berlangsung kapan pun
dan tidak ada seorang pun yang boleh mengingkarinya, baik karena satu keyakinan
maupun beda keyakinan. Kedua, konsep
cinta sewajarnya kepada harta benda dan kenikmatan dunia. Karena beliau
meyakini bahwa akar utama permasalahan munculnya perilaku ekstrem dan
berlebihan adalah ketidakmampuan dalam mengontrol hawa nafsu. Terakhir, konsep mengelola rasa benci
karena Allah dengan tetap menyayangi pelakunya sesuai dengan aksentuasi tujuan
dakwah Islam.
Makna Moderasi atau Wasathiyyah dan Konsep Pelaksanaanya
Kata moderasi dalam bahasa Arab diartiakan al-Wasathiyah. Secara bahasa al-Wasathiyah berasal dari kata wasath. Al-Asfahaniy mendefenisikan
dengan sawa’un yaitu tengah-tengah di
antara dua batas, atau dengan keadilan, yang tengah-tengah atau yang standar
atau yang biasa-biasa saja. Wasathan juga
bermakna menjaga dari bersikap tanpa kompromi bahkan meninggalkan garis
kebenaran agama (Alamah: 2009).
Ibnu Asyur mendefinisikan kata wasath
dengan dua makna. Pertama, definisi
menurut etimologi, kata wasath berarti
sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang
ukurannya sebanding. Kedua, definisi
menurut terminologi, makna wasath adalah
nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan
pertengahan, tidak berlebihan dalam hal tertentu (Ibn Asyur: 1984).
Dalam pelaksanaannya, konsep wasathiyyah
menitikberatkan pada keseimbangan. Sehingga prinsip moderasi Islam
tercermin dalam seluruh ajarannya. Misalnya dalam bidang Akidah, ajaran Islam
sesuai dengan fitrah kemanusiaan, berada di tengah antara mereka yang tunduk
pada khurafat dan mitos, serta mereka
yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud metafisik.
Selain mengajak beriman kepada yang ghaib, Islam pun mengajak akal
manusia untuk membuktikan ajarannya secara rasional. Dalam bidang ibadah, Islam
mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah dalam bentuk dan jumlah yang
sangat terbatas, misalnya shalat lima kali dalam sehari, puasa sebulan dalam
setahun, dan haji sekali dalam seumur hidup; selebihnya Allah mempersilakan
manusia untuk berkarya dan bekerja mencari rezeki Allah di muka bumi. Kemudian
dalam bidang akhlak, ajaran Islam mengakui dan memfasilitasi adanya unsur jasad
dan ruh pada diri manusia. Dengan adanya unsur jasad manusia didorong untuk
selalu menikmati kesenangan dan keindahan yang dikeluarkan oleh bumi, sementara
unsur ruh mendorongnya untuk menggapai petujuk langit. Sehingga dengan konsep
ini, kehidupan dunia bukanlah penjara tempat manusia disiksa, tapi sebuah
nikmat yang harus disyukuri dan sebagai ladang untuk mencapai kehidupan yang
lebih kekal di akhirat.
Moderasi Islam dan Degradasi
Nilai Toleransi
Dewasa ini, isu tentang moderatisme Islam sering terdengar sejak
berbagai peristiwa kekerasan maupun terorisme yang dituduhkan kepada umat
Islam. Benar tidaknya urusan itu, tentu ada urusan lain yang terkadang mengarah
kepada persoalan politik. Kemoderatan Islam memiliki ciri khas yang tidak
ditemui dalam agama lain. Kemoderatan Islam merupakan gabungan antara
kerohanian dan jasmani, kombinasi wahyu dan akal, kitab yang tertulis dan kitab
yang terhampar di alam semesta. Islam moderat berbicara bahwasannya Allah memuliakan
semua anak manusia tanpa membedakan suku bangsa, bahasa, dan agama. Keutamaan
manusia ditentukan oleh ketakwaannya, bukan realitas sosialnya (M.
Imarah: 2006).
Kekakuan radikalisme fundamentalis muncul dan dipengaruhi oleh pola
pikir tekstual Bayani yang lebih dominan secara politis dan membentuk
mainstream pemikiran keislaman yang hegemonik. Otoritas teks dan otoritas paham
yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fiqh klasik lebih
diungggulkan dari pada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti alam (kauniyyah), akal (aqliyyah), dan intuisi (wijdaniyyah).
Dominasi pola pikir tekstual-ijtihadiyyah
menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli
terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah.
Prinsip interpretasi di atas menular baik secara implisit atau
eksplisit dalam ranah toleransi kepada sesama manusia. Baik dalam hal beragama
atau bermasyarakat dalam pola masyarakat dunia yang beragam dan majemuk.
Padahal nilai toleransi seharusnya dipegang oleh umat Islam sebagai salah satu
pilar untuk mengembangkan beberapa aspek dari pengembangan budaya toleransi
dalam kehidupan masyarakat majemuk, seperti formulasi baru toleransi, etika
toleransi, peluang bagi perdamaian, dan Aliansi Keutamaan (Alliance of Virtous). Aliansi Keutamaan merupakan upaya mengangkat
nilai-nilai keutamaan dari berbagai agama untuk ditampilkan sebagai lingkaran
kebenaran. Lingkaran Keutamaan (Virtous
Circle) diharapkan dapat menggantikan Lingkaran Setan (Vicious Circle) yang melilit
peradaban dunia dewasa ini.
Hal ini, sejalan dan sejalin dengan pandangan Prof. Dr. Din Syamsuddin,
bahwa toleransi merupakan pilar utama dalam menjalani kehidupan yang majemuk (Prof. Din: tt).
Toleransi bukan lagi sekedar suatu aksioma dalam menjalani hidup di lingkungan
masyarakat majemuk yang akuntabel pola pelaksanaannya dan memungkinkan untuk
masuknya pola tawar menawar dalam prakteknya. Tapi toleransi sudah menjadi
suatu keniscayaan sebagai sikap dan pandangan yang mengakui bahwa di antara
anasir masyarakat majemuk ada persamaan dan perbedaan. Dan toleransi dengan
prinsip moderasi Islam ada untuk mewujudkan keutuhan, kerukunan, dan kesatuan
masyarakat dunia.
Konsep dan Gagasan Cinta Dr.
Mohammed Said Ramadan Al-Bouti
Sosok Dr. Mohammed Said Ramadan Al-Bouti adalah tokoh yang iconic dan dicintai masyarakat. Ulama
berpengaruh di Timur Tengah ini dikenal sebagai ulama yang produktif
menghasilkan karya dan mempunyai provokasi pemikiran cerdas yang sanggup
menggabungkan kepemimpinan spiritual (spiritual
leadership) dan aspek kesarjanaan Islam (Islamic scholarship) menjadi suatu kekuatan yang unik.
Al-Bouti mampu mengeluarkan pemikiran-pemikiran mendalam yang
dirindukan masyarakat modern. Ia selalu berusaha untuk menjadikan Islam sebagai
kekuatan nilai-nilai sosial praktis yang mampu menjawab krisis spiritual
masyarakat modern. Begitu pula permasalahan yang terkait dengan degradasi nilai
moderasi Islam dan berkembangnya paham-paham ekstrem yang meresahkan (Said: 2010).
Adapun komitmen untuk melakukan revitalisasi konsep dan gagasan yang
dipunyai Al-Bouti muncul sebagai reaksi atas hilangnya ruh dan jiwa yang ada
dalam pemahaman dan praktek moderasi dan toleransi di berbagai aspek kehidupan.
Ruh dan jiwa itu adalah cinta. Tanpa adanya cinta, metode moderasi Islam dan
toleransi beragama akan mengalami sebuah disorientasi tujuan. Moderasi dan
Toleransi bukan lagi menjadi metode yang diciptakan untuk mewujudkan
perdamaian.
Namun, ia hanyalah alat untuk mendapatkan pengakuan publik dunia. Maka tidak heran, jika dewasa ini
semakin banyak bermunculan kelompok yang mudah mengklaim sebagai yang paling
toleran dan tidak segan untuk mencap kelompok lain intoleran. Padahal kita
sama-sama tahu, bahwa klaim sepihak yang bersifat subjektif seperti itu justru
akan merusak iklim toleransi dan moderasi. Seharusnya tidak boleh ada toleransi
dan moderasi tanpa dilandasi ketulusan cinta sejati.
Hadirnya gagasan cinta Al-Bouti secara definitif menghadirkan suasana
segar dalam memperkokoh prinsip moderasi dan warna warni toleransi masyarakat
dunia yang akan mempersempit ruang gerak bagi orang-orang berwatak hipokrit
atau munafik. Adapun gagasan dan konsep cinta
yang dituangkannya dalam karyanya Al-Hubb Fil Qur‟an wa Daurul Hubb fi Hayatil Insan tertuang dalam tiga
kelompok karakteristik, yaitu apresiatif (ta‟dzim),
perhatian (ihtimaman), dan benci (bagdan)
Pertama, gagasan apresiatif yang tertuang dalam ungkapan Al-Bouti bahwa
persaudaraan antar sesama manusia kapan pun selalu berlangsung dan tak seorang pun
yang mengingkarinya, baik karena satu keyakinan maupun beda keyakinan (Said: 2010). Konsep ini lahir dari penafsiran
beliau yang berbeda dalam menilai sebuah ayat dalam surah al-Hujurat ayat 10
yang berbunyi.
Allah Swt. berfirman:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab
itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Dalam kasus ini, Al-Bouti melihat lebih luas makna yang terkandung
dalam kata innama, di saat banyak
ulama yang mengatakan bahwa innama merupakan
adatul hashr (kata pembatas) yang
menunjukkan bahwa persaudaraan terjadi di antara orang-orang yang beriman saja. Namun, Al-Bouti secara lebih luas memandang
bahwa pembatasan ayat di atas tidak dimaksudkan untuk makna
seperti itu dengan alasan apa pun. Bahkan beliau menegaskan bahwa pemahaman
seperti itu hanya sebatas perasaan, tidak sampai ke pemahaman logika (Said: 2010).
Dengan model pemahaman yang seperti ini. Secara eksplisit gagasan cinta
Al-Bouti sudah menutup ruang bagi intoleransi, radikalisme fundementalis, dan
terorisme untuk berkembang lebih luas dalam konteks masyarakat dunia yang
majemuk. Di mana paham-paham di atas cenderung fanatik terhadap kelompok tanpa
memperhatikan kemaslahatan umat manusia secara
komprehensif.
Konsep dan gagasan cinta secara apresiatif ini menjunjung tinggi
penghormatan dan penghargaan dalam memanusiakan manusia. Dalam lingkup ruang
publik, gagasan ini juga membentuk suatu susunan dan struktur masyarakat yang
teratur dalam membina perdamaian dengan tujuan dan platform yang sistematis.
Kedua,
gagasan dengan konsep ihtimam atau
perhatian dan kepedulian kepada orang lain tanpa memandang status sosial di
masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Al-Bouti bahwasanya hubungan kita dengan
orang-orang yang menjadi objek dakwah kita, dalam kondisi apa pun tidak lain
sebatas peringatan akan kebenaran. Tugas kita tidak boleh melampaui apa yang
telah disebutkan (Said: 2010).
Perintah amar ma’ruf nahi munkar yang
Allah perintahkan kepada para Rasul-Nya,
kemudian diwariskan kepada para ulama, tidak lain sebagai bentuk hak
persaudaraan yang dimiliki seluruh umat manusia di dunia. Peringatan yang
diberikan oleh para Rasul-Nya kepada orang-orang yang sesat dilakukan semata
karena kasih sayang. Gagasan ini akan melahirkan suatu pola hidup sosial yang
berlandaskan rasa empati, saling tolong menolong, dan peduli. Walaupun ada
perbedaan, adanya sistem ini akan meletakkan prinsip musyawarah sebagai jalan
tengah untuk mengambil sebuah keputusan.
Gagasan ini juga semakin memperkuat prinsip moderasi Islam yang secara
terminologi, merupakan suatu sikap yang senantiasa mengedepankan nilai-nilai
jalan tengah, tidak melebih-lebihkan atau mengurangi. Sikap yang terkandung
dalam wasathiyyah atau moderat adalah
toleran dan kompromi dalam melihat beberapa perbedaan di sekitarnya. Dengan
tetap memperhatikan batasan dan tuntunan kompromi dalam kebaikan, bukan berarti
membenarkan semua perbedaan tanpa batasan pengetahuan.
Ketiga, gagasan dengan konsep benci tapi cinta. Dr. M. Said Ramdan Al- Bouti
mengatakan bahwa benci karena Allah adalah sebuah kebenaran. Hal ini
berdasarkan konteks hadis Rasulullah Saw yang secara gamblang menjelaskan, “Ikatan iman yang paling kuat adalah saling
setia karena Allah dan saling bermusuhan karena-Nya, cinta karena Allah dan
benci karena-Nya.”
Adapun dalam gagasan konsep benci tapi cinta yang diusung oleh Al-Bouti
adalah benci kepada maksiat yang dilakukan oleh seseorang dengan tetap
mencintai pelakunya (Said: 2010). Gagasan seperti ini memerlukan kesadaran secara spekulatif bahwa
cinta manusia kepada sesama manusia adalah wujud dari cintanya kepada Allah
Swt. Jika pemahaman terhadap gagasan ini masih belum mendalam, maka akan muncul
pertanyaan-pertanyaan yang berkonotasi meragukan. Seperti apa yang ditanyakan
oleh beberapa kelompok kepada Al-Bouti perihal perintah untuk memerangi orang-
orang kafir, sedangkan di sisi lain dituntut untuk mencintai. Padahal secara
jelas kita sama-sama mengetahui bahwa menurut mayoritas ulama, perintah perang
terhadap orang-orang kafir bukan semata karena kekufuran mereka, melainkan
karena permusuhan mereka yang diwujudkan dalam perilaku, dengan memerangi umat
Islam terlebih dahulu.
Allah Swt tidak pernah memerintahkan kita untuk saling bermusuhan.
Namun, jika mereka yang terlebih dahulu berbuat makar, kita diperbolehkan untuk
melawan. Selain alasan itu, semua dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Ini
adalah bukti terkuat yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang paripurna
dengan konsep cinta sebagai landasannya. Maka sangatlah tepat jika gagasan
cinta yang dimiliki oleh Al-Bouti kembali kita hidupkan dan kita semarakkan
pelaksanaannya untuk melawan paham-paham
keagamaan yang puritan, radikal, fundamentalis yang cenderung literlis-harfiah
sehingga kerap menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an
secara “galak” seolah-olah tanpa cakupan atau
sinaran cinta.
Dengan demikan, Islam dan umat Islam saat ini paling tidak menghadapi
dua tantangan; pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk
bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami teks-teks keagamaan dan mencoba
memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal
menggunakan kekerasan; kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan
bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran
negatif yang berasal dari budaya dan peradaban
lain.
Dalam upaya itu mereka mengutip teks-teks keagamaan (al-Qur‟an dan
al-Hadits) dan karya-karya ulama klasik (turats)
sebagai landasan dan kerangka pemikiran, tetapi dengan memahaminya secara
tekstual dan terlepas dari konteks kesejarahan. Sehingga tak ayal mereka
seperti generasi yang terlambat lahir, sebab hidup di tengah masyarakat modern
dengan cara berfikir generasi terdahulu (Muchlis: 2013).
Padahal Islam berpegang teguh pada prinsip moderasi yang dapat dipahami
sebagai pandangan atau sikap berusaha mengambil jalan tengah. “Muslim moderat‟ menjalankan Islam secara mendalam (kaffah) dan seimbang, baik pada tataran
hubungannya dengan Allah (hablun minallah)
maupun kepada sesama manusia (hablun
minannas). Dan tidak bisa kita pungkiri, bahwa muncul dan berkembangnya
paham-paham ekstrem dewasa ini adalah karena hilangnya cinta sebagai landasan
dalam praktek moderasi dan toleransi.
Mengutip perkataan KH. Abdurahman Wahid, dikenal dengan panggilan Gus
Dur yang berkata bahwa ketika keberagaman sedang dihancurkan oleh sikap
intoleran dan radikal, saat semangat persatuan dan persaudaraan dirobek-robek
oleh egoisme kelompok dan fanatisme sempit, dan ketika spirit kebangsaan
direncah-rencah oleh kedangkalan beragama yang menghancurkan kemanusiaan, maka
upaya mengingat dan menyegarkan kembali spirit dan nilai-nilai moderasi adalah
sesuatu yang niscaya.
Maka, sangatlah tepat jika dalam kajian pada makalah ini, kita berupaya
melakukan revitalisasi terhadap konsep dan gagasan cinta, yang diusung dan
diperjuangkan oleh Dr. Mohammed Said Ramadan Al-Bouti selama hidupnya dan di
dalam tulisan-tulisannya. Sehingga terwujud kedamaian dan persatuan pada
masyarakat dunia yang beragam dan majemuk.
Daftar Kepustakaan
Muchlis
M. Hanafi. (2013). Moderasi Islam. Ciputat: Diterbitkan Oleh Ikatan Alumni Al- Azhar dan Pusat
Studi Al-Qur‟an. (h. 31).
Alamah
al-Raghib al-Asfahaniy. (2009). Mufradat al-Fadz al-Qur‟an. Beirut: Darel
Qalam. (h. 31).
Ibnu
Asyur. (1984). at-Tahrir Wa at-Tanwir. Tunis: ad-Dar
Tunisiyyah. (h. 17-18).
Muhammad
Imarah. (2006). Islam Moderat Sebagai Penyelamat Peradaban D.unia.
Seminar Masa Depan Islam Indonesia. Mesir: Al-Azhar University, 22 September. (h. 438-442).
Prof.
Dr. Din Syamsudin. (tt). Dalam
konferensi keenam yang diselenggarakan oleh Forum
Promosi Perdamaian dalam Masyarakat Islam
(Muntadat Ta‟zis Silmi fil Mujtama‟at al-Islamiyah/Forum for Promoting Peace in
Muslim Societies). Abu Dhabi: Uni Emirat Arab.
Said Mohammed Ramadan Al-Bouti. (2010). Al-Qur‟an Kitab Cinta; Terjemah dari Al-Hubb Fil Qur‟an wa Daurul Hubb fi hayatil Insan. Jakarta: Penerbit Hikmah. (h. 204).
Muchlis
M. Hanafi. (2013). Moderasi Islam. Ciputat: Ikatan Alumni Al- Azhar dan Pusat Studi Al-Qur‟an. (h. 1-2).
Komentar
Posting Komentar