Perjalan Singkat Mahasiswa Muslim di Taiwan
*Zulham Al-Hazmi Oktasela*
Mendengar kata “Taiwan” mungkin sudah tak asing lagi bagi kebanyakan orang. Namun mayoritas masyarakat Indonesia pada umumnya akan menilai bahwasanya Taiwan negara tempat di mana Warga Negara Indonesia (WNI) mengais rezeki. Fakta membuktikan, lebih dari dua juta WNI berada di Negeri yang terkenal dengan istilah “Formosa” tersebut, sehingga tak sulit menemukan WNI di negara ini. Tak hanya sebagai pekerja, sebagian juga berstatus mahasiswa maupun sekadar turis.
Meski banyak mahasiswa asal Indonesia di Taiwan, namun tak sedikit orang beranggapan bahwa pilihan universitas di sana bukanlah yang terbaik. Bahkan beberapa menyayangkan para mahasiswa Taiwan yang tak mencari beasiswa ke negara tersohor, semisal negara-negara Eropa, Amerika maupun Australia. Padahal menurut Quacquarelli Symonds World Universities Ranking (QS-WUR), menerangkan bahwa beberapa universitas di Taiwan masuk dalam kategori universitas terbaik di Asia, meski belum mencapai level dunia.
Lebih lanjut, pemerintah Taiwan sangat peduli terhadap sistem pendidikan. Terlebih pada program peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti international student, sebab salah satu yang menjadi bobot penilaian universitas adalah mahasiswa luar negeri. Langkah yang diambil pemerintah Taiwan untuk menunjang mutu pendidikan adalah dengan pengadaan berbagai macam beasiswa terkhusus bagi mahasiswa luar negeri.
Dari informasi tersebut, saya menaruh harapan besar untuk kuliah di Taiwan. Awalnya saya merupakan mahasiswa salah satu universitas swasta yang ada di Solo jurusan Ekonomi dan Bisnis kelas internasional. Hal ini cukup menguntungkan bagi saya, karena jurusan yang saya ambil mewajibkan mahasiswanya untuk memiliki pengalaman studi ke luar negeri, seperti pergantian pelajar, double degree, atau international summer camp. Alhasil dengan rekomendasi yang diberikan oleh universitas, saya mengambil program double degree yaitu kuliah di Indonesia selama tiga tahun, dan satu tahun selanjutnya di Taiwan.
Dalam benak saya, kuliah di Taiwan membutuhkan upaya serta persiapan
finansial yang tinggi. Namun faktanya, setelah saya menjalani pendidikan di
salah satu universitas negeri yang ada di Taiwan, tidak demikian. Saya merasa
kuliah di Taiwan akan menjadi negara rujukan yang tepat maupun potensial di
masa depan untuk international student, khususnya mahasiswa Indonesia. sebab
persaingan terbilang belum banyak, dan biaya hidup yang relatif sama dengan di
Jakarta Indonesia. Dikarenakan saya mahasiswa internasional,
jadi bahasa yang digunakan di dalam kelas hanya Bahasa Inggris. Namun untuk
pembiasaan berbahasa Mandarin, semua mahasiswa asing diwajibkan mengambil kelas
Fundamental Chinese.
Taiwan terkenal dengan budaya Tionghoa yang melekat pada aroma penduduknya. Sehingga mayoritas beragama Buddha, Konghuchu, dan Taoisme. Sedangkan agama Islam termasuk minoritas yang mana bawaan dari kaum pendatang bukan penduduk asli. Meski demikian, saya sebagai umat Islam tidak pernah merasakan kecemasan yang terselubung sedikitpun sebelum memantapkan hati untuk studi di Taiwan. Sebab dari sebagian kisah teman-teman Indonesia yang lebih dulu berkuliah di Taiwan, tak satupun orang yang mengatakan bahwa Taiwan adalah negara intoleran. Terbukti di universitas tempat saya belajar, terdapat tempat ibadah khusus bagi umat muslim. Bahkan bukan hanya untuk menjalankan ibadah shalat lima waktu saja, melainkan untuk shalat Jumat dan kajian keislaman lainnya.
Bahkan saya pernah
mendapat pengalaman berharga, ketika salah satu organisasi sosial nonprofit
memberi wadah kepada Tenaga Kerja Indonesia dan mahasiswa pendatang dari
Indonesia untuk mengadakan bazar dan makan bersama. Pada saat itu, saya
ditunjuk sebagai pembaca doa dengan cara muslim. Setelah selesai memanjatkan
doa, salah satu penduduk lokal Taiwan mendatangi saya untuk menanyakan kitab yang
saya pakai sebagai landasan berdoa. Bukan tanpa alasan, di Taiwan sendiri pada
setiap acara keagamaan terkhusus pengajian muslim, harus disertai dengan
translator agar penduduk lokal tidak gagal paham, serta menjadi bukti
transparansi acara yang digelar.
Dengan biaya hidup di
Taiwan yang tergolong relatif sama dengan Jakarta, mungkin bisa dibilang cukup
tinggi. Itu lah sebabnya, mayoritas mahasiswa di Taiwan mengambil pekerjaan
paruh waktu untuk menambah uang saku. Selain dapat tambahan pemasukan, bekerja
paruh waktu dapat menambah relasi serta praktik bahasa Mandarin secara langsung
sehingga lebih banyak pengalaman yang didapatkan. Mendapat pekerjaan di sana
pun cukup mudah bagi yang menguasai bahasa Mandarin, atau bisa mengandalkan
relasi.
Dalam kurun waktu satu
tahun, pengalaman kerja yang saya dapat bermacam-macam, seperti berkebun,
urusan perhotelan hingga peternakan. Meski demikian, penghasilan yang saya
dapatkan lebih dari cukup dengan notabene mahasiswa, kisaran Rp400 ribu hingga
Rp800 ribu per hari. Selain mendapat upah yang relatif cukup, saya juga
mendapat banyak ilmu yang tidak ada di bangku kuliah. Seperti cara memanen
tumbuhan, merapikan kamar hotel serta pengelolaan peternakan ayam modern.
Dari pengalaman kerja tersebut saya juga mendapat pelajaran terkait pemotongan ayam di Taiwan. Yang mana cara menyembelih bukan dengan disembelih tapi dilakukan dengan cara membunuh menggunakan listrik bertegangan tinggi. Jadi jika ditelisik dari segi ilmu agama Islam, cara membunuh seperti ini menyalahi ajaran Islam. Sehingga ayam yang dihasilkan atau disajikan bukanlah ayam halal, sebab dipotong tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Maka tak ayal saya
lebih berhati-hati dalam memilih makanan meski itu terlihat halal. Sehingga dalam
urusan makan, saya lebih memilih masak sendiri. Selain bisa menjamin kehalalan
makanan yang saya makan, juga bisa berhemat serta pola makan dan kebutuhan gizi
terpenuhi. Tapi tidak perlu khawatir, jika tidak sempat untuk memasak,
terkadang saya membeli makanan siap saji di warung Indonesia atau restoran muslim
yang mudah ditemukan di setiap penjuru kota Taiwan. Lebih lanjut, sebagian
besar populasi di Taiwan beragama Buddha, maka kita tidak akan kesulitan
menemukan vegetarian food atau plant-based food di convenience
store terdekat. Akan tetapi, mengasah kemampuan memasak bisa dijadikan solusi
untuk hidup di Taiwan.
Edited by: Dewi Sholeha
Maisaroh
Komentar
Posting Komentar