Maraknya Bullying di Indonesia

Penulis: Alfiyan Paramudita, M.Pd

Alfiyanparamudita43557@gmail.com

 

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa besar, bangsa yang tersohor akan sifat gotong royong, tenggang rasa, dan memiliki tingkat kepedulian yang tingi. Akan tetapi sejak berkembangnya arus globalisasi dengan kemajuan teknologi dan komunikasi, masyarakat Indonesia lebih cenderung kepada sikap individualismenya, sehingga budaya dan peradaban bangsa ini mulai luntur.

Teknologi dan komunikasi yang berkembang dengan pesat, mempermudah setiap orang untuk berkomunikasi dan bergaul dengan seluruh masyarakat dunia, sehingga masyarakat Indonesia cenderung mengikuti budaya dan peradaban bangsa lain, hingga tanpa disadari hal ini sedikit-demi sedikit mengikis budaya dan peradaban bangsa.

Budaya dan peradaban bangsa Indonesia selalu diarahkan pada ranah pendidikan. Pendidikan diyakini menjadi metode yang selalu digunakan manusia sejak zaman dahulu sampai sekarang, karena sudah terbukti sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup dalam merubah pola fikir dan tingkah laku manusia. Manusia berpendidikan tinggi mampu bergaul dan menjawab tantangan masyarakat. Mereka cenderung lebih peka terhadap permasalahan yang berkembang, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.

Dalam Undang –Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, menegaskan bahwa: Pedidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk perkembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Akan tetapi akhir-akhir ini dunia pendidikan dihebohkan dengan berbagai perilaku yang menyimpang. Kekerasan dan bullying sudah menjadi hal yang wajar, siswa yang berpenampilan kuno dan jauh dari perkembangan zaman selalu menjadi incaran  penghinaan dan kekerasan. Bullying dan kekerasan ini kerap terjadi pada anak-anak di bangku SD, SMP, dan SMA, sehingga hal ini menjadi perhatian kita semua terkhusus dalam ranah pendidikan. Dari data survei, sebanyak 84 persen anak usia 12 tahun hingga 17 tahun pernah menjadi korban bullying. Dampak dari bullying mampu menjadikan anak depresi, menutup diri hingga bunuh diri.

Bullying tidak hanya terjadi pada dunia pendidikan akan tetapi sudah menjalar ke semua lini, dan dampak terbesar berada pada lini media sosial. Menurut Sekjen Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet Indonesia (APJII) jumlah pengguna internet di Indonesia tembus 171,17 juta jiwa sekitar 64,8 persen dan kontribusi terbesar pengguna internet pada masyarakat dengan rentan usia 15 hingga 19 tahun.


Survei global yang dilakukan oleh Ipsos terhadap 18.687 orang tua dari 24 negara, termasuk Indonesia, menemukan bahwa 12% orang tua menyatakan bahwa anak mereka pernah mengalami cyberbullying dan 60% diantaranya menyatakan bahwa anak- anak tersebut mengalami cyberbullying.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berusaha melakukan pencegahan dan penanggulangan pada tindakan bullying dan kekerasan dengan mengeluarkan Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Dalam bab IV pasal 7, menegaskan bahwa: pencegahan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dilakukan oleh peserta didik, orang tua/wali peserta didik, pendidik, masyarakat, pemerintah kabupaten/ kota, pemerintah provinsi, dan pemerintah sesuai dengan kewenangannya.

Maraknya bullying dan kekerasan pada anak disebabkan oleh beberapa hal: kurang terarahnya  pengelolaan sistem pada satuan pendidikan. Pendidikan lebih mengutamakan kecerdasan intelektual dan pengembangan soft skill sehinga tidak menyentuh kepada pendidikan akhlak (pendidikan karakter), adanya dikotomi antara ilmu islam dan ilmu umum, dunia pendidikan kurang serius dalam menghadapi tantangan zaman.

Oleh sebab itu dunia pendidikan harus melakukan perbaikan dan  perubahan sistem. Menurut Hasibuan, perubahan dapat dibedakan dalam empat lapis sistem yamg saling berkaitan. Salah satunya yaitu perubahan sistem pada pengelolaan sistem wilayah, yang mendukung terselenggaranya sistem pembelajaran. Untuk itu harus adanya pengawasan yang ketat dari kepala sekolah terutama dari segi pembelajaran.

 Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan  (Depdiknas) menyebutkan bahwa tugas di bidang supervisi merupakan tugas-tugas kepala sekolah yang berkaitan dengan pembinaan guru untuk memperbaiki atau meningkatkan proses dan situasi belajar mengajar. Sasaran akhir dari kegiatan supervisi adalah meningkatkan hasil belajar siswa.

Kepala sekolah yang bertugas dalam melakukan bimbingan kepada guru, senantiasa  meningkatkan mutu dan kualitas secara berkelanjutan. Apabila proses pembelajaran berlangsung dengan baik, secara tidak langsung mempengaruhi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa sehingga perbuatan yang melanggar norma-norma seperti bullying dan kekerasan akan berkurang dengan sendirinya. Pengetahuan (kognitif) yang diterima oleh siswa dalam kelas akan membimbing siswa kepada prilaku yang baik (afektif) sehingga pada akirnya mampu mengembangkan kreatifitasnya (psikomotorik).

Selain kepala sekolah melakukan bimbingan pengajaran dalam meningkatkan mutu pembelajaran guru, juga senantiasa menanamkan pendidikan Islam (pendidikan karakter). Karena datangnya Islam untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak atau prilaku baik, di ibaratkan pondasi yang kokoh, sedangkan pengetahuan intelaktual dan kreatifitas (soft skill), diibaratkan bangunanya yang berdiri dengan indah. Bangunan berdiri indah tidak akan mampu berdiri tanpa adanya pondasi yang kokoh.

 Imam Ghozali mengatakan: ”Pendidikan Islam diharapkan mampu melakukan transformasi nilai dalam ragka bersosialisasi denagan masyarakat dan lingkungan. Dengan pemberdayaan pendidikan Islam, umat Islam akan mampu menjadikannya bekal untuk terus menuju kepada penyempurnaan diri, yang darinya akan mampu digunakan untuk mengarungi kehidupan.

Pendidikan Islam saat ini mengalami degradasi yang besar, disebabkan adanya dikotomi ilmu sehingga masyarakat memahami adanya dua ilmu yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Padahal sejak zaman keemasan Islam semua ilmu sama, baik ilmu agama dan ilmu umum. Charles Issawy mengatakan bahwa Ibnu Kholdun adalah tokoh yang paling besar sezamannya dalam ilmu masyarakat, karena ia mengubah filsafat sosiologi dengan pendidikan.

Dia berpendapat bahwa pendidikan berusaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan serta berusaha untuk melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya. Maka pendidikan akan mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berkualitas akan menjadikan sarana menuju Pendidikan Nasional yaitu berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab, yang pada akhirnya akan mampu mengikis bahkan menghilangkan budaya bullying dan kekerasan pada anak.

Editor: Ade Irfan Kahfi Ramadlan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalami Makna Literasi Lewat Diskusi

INDONESIA TAHUN 2050: MEMBACA OPTIMISME SEJARAWAN ANTHONY REID

PANDANGAN HIDUP ISLAM (WORLDVIEW ISLAM)