Dampak Fanatik Beragama Tanpa Landasan Ilmu

Alfiyan Paramudita, M.Pd

alfiyanparamudita43557@gmail.com

 

Topik yang kontrovesial ini sangat menarik diperbincangkan, penulis akan mengupasnya dari ranah ibadah, yaitu esensi ibadah itu sendiri. Pada tiga tahun terakhir ini sebagian besar masyarakat Indonesia menggaungkan kata hijrah dalam media sosial bahkan dalam keseharian sekalipun, puncaknya sukses tersulut sebelum pilpres 2019. Hal yang masih hangat diperbincangkan adalah kue klepon yang disebut tidak islami. Apakah semua ini terjadi by design atau timbul di tengah-tengah masyarakat secara natural? Penulis sengaja mencoba menggali maksud dari maraknya gaungan tersebut dengan melakukan  pemetaaan wilayah yang dominan mengakses internet atau menggunakan media social dengan pendekatan metode deskriptif.


Mengapa penulis melakukan pemetaan wilayah? Karena di era revolusi industri 4.0 ini, media sosial merupakan tempat yang nyaman untuk menggaungkan kata hijrah dan isu-isu kontroversial lainnya. Realitanya akun di media sosial yang melabelkan kata hijrah memiliki jumlah  follower lebih besar dan banyak diminati. Pemetaan melalui analisa hasil survei APJII 2018 menunjukkan pengguna internet paling tinggi adalah penduduk pulau Jawa dan Sumatra. Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi dengan presentase 16,7 % di antara propinsi lain di pulau Jawa. Adapun dalam pulau Sumatra diraih oleh propinsi Sumatra Utara dengan 63 % persentase dikomulatifkan perpulau di Indonesia.

Kemudian pendekatan metode deskriptif dengan teknik observasi, wawancara bahkan mengikuti secara langsung dapat disimpulkan bahwa isu-isu tersebut terjadi by design oleh suatu kelompok dan sudah terukur strategi serta targetnya. Pada akhir tahun 2015 penulis telah berdiskusi tentang ajaran agama Islam dengan seorang aktifis di salah satu kampus daerah Jawa Barat. Dalam diskusi tersebut sangat terlihat bahwa orientasi gerakan yang ada di kalangan mereka hanya untuk menyebarkan dan mengajarkan suatu idiologi. Objek yang dituju terbius dengan pemahaman baru dan akhirnya ikut bergabung untuk menjadi anggota.

Di tahun 2016 penulis sengaja mengikuti kegiatan kajian mingguan yang mereka selenggarakan. Mereka mengkaji al-Quran terjemah dengan silabus yang sudah ditentukan dan sudah dipastikan berunsur radikalisme. Suatu ketika penulis diajak dalam acara outbond di dataran tinggi Jawa Barat, ternyata outbond tersebut hanyalah cover untuk menutupi kajian mereka. Akhir 2018 hingga masa pilpres 2019 adalah ajang yang paling tepat untuk kelompok ini menyelinap dibalik pilpres dengan membawa isu agama yang dibungkus rapi dengan istilah hijrah sebagai brandingnya. Tujuannya adalah untuk mengajak anggota baru dan memperkuat kelompok mereka.

Dari hasil survei pemetaaan wilayah tersebut juga pendekatan metode deskriptif, dapat disimpukan bahwa gaungan ini paling banyak terdampak di wilayah Jawa Barat dan Sumatra Utara.  Apa dampaknya? Dampaknya adalah mereka yang berwawasan sempit dan kerap membaca artikel yang belum valid referensinya mudah terbius dan terprofokasi, hingga akhirnya terpengaruh dan mudah menyalahkan. Siapa yang mereka salahkan? yang disalahkan adalah orang yang tidak berhijrah dan tidak berprilaku seperti mereka

Kelompok mereka sukses membius ribuan masyarakat Indonesia, sampai detik ini masih hangat dengan hal yang senada yaitu mengangkat isu makanan dengan meme kue klepon tidak Islami. Beredar cuitan tanpa nama di twitter dari akun memefess “Kue klepon tidak islami. Yuk, tinggalkan jajanan yang tidak Islami dengan cara membeli jajanan Islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami.’’  Dari hasil analisa Ismail Fahmi seorang pakar media sosial dari Drone Emprit mengatakan pro-kontra kue klepon ini merupakan bentuk residu atau sisa-sisa dari persaingan pilpres 2019. Bagi Ismail, topik kue klepon tidak Islami ini menyulut perdebatan antar dua kelompok.

Bukan sebuah rahasia bahwa pemilihan presiden 2019 telah memecah dua kelompok umat muslim di negri ini. Terjadinya perdebatan panjang di media sosial serta maraknya penyebaran isu telah sengaja didesain oleh kelompok yang menyelinap dibalik pilpres 2019. Ungkapan kue klepon tidak islami adalah salah satu dampak dari fanatik beragama tanpa landasan ilmu, hingga sebagian masyarakat awam beranggapan bahwa segala hal wajib berbau syariah hingga menyalahkan selainnya atau dianggap tidak islami.

Sangat disayangkan Islam yang tumbuh subur nan damai serta dianut oleh mayoritas masyarakat yang sangat menjunjung tinggi sikap gotong royong, rasa toleransi, dan kasih sayang, harus dihantui oleh segelintir kelompok yang memanfaatkannya demi suatu kepentingan dan mengklaim dirinya paling benar. Teringat ucapan Gus Dur “Cuma di Indonesia, kiai, ulama, dan professor yang sudah puluhan tahun menimba ilmu agama dianggap sesat oleh mereka yang baru muallaf, ustadz yang baru selesai sekolah, selebritis yang baru taubat dan banyak yang mempercayainya.’’

Segala sesuatu memiliki dua sisi, positif dan negatif, kurangnya ilmu dan pengetahuan yang dimiliki lalu dibenturkan dengan fanatisme islam yang terlalu tinggi akan membawa pada kesalahan dalam menafsirkan ajaran agama, padahal ajaran islam sangatlah luas agama rahmatan lil ālamīn. Ajaran islam merucut pada satu titik, yaitu kesempurnaan akhlak yang diaplikasikan dalam bermuāmalah sesama manusia dengan kata lain ukhwah basyariyah yaitu persaudaraan sesama manusia tidak melihat etnis, agama, golongan dan lain sebaganya.

Dalam riwayat Nabi Allah Daud AS pernah berdoa, “Ya Rabbku, siapakah yang akan menghuni rumah-Mu, dan salat siapakah yang akan engkau terima? Maka Allah SWT mewahyukan kepada beliau, “orang-orang yang akan menghuni rumah-Ku , dan orang-orang yang akan aku terima sholat mereka, merendahkan dirinya dihadapan keagungan-Ku, menjalani kehidupannya dalam dzikir kepada-ku, mengendalikan nafsunya demi Aku, memberi makanan orang yang lapar, menjamu musafir dan menunjukkan simpati kepada siapa saja yang menderita kesulitan. Cahaya orang-orang seperti itulah yang akan menerangi langit dan bumi. Apabila ia berdoa kepada-Ku, niscaya aku akan mengabulkan doanya.  Aku akan menjadikan kebijakan dalam ketidaktahuannya, dzikir kepada-Ku dalam kelalaiannya, dan cahaya dalam kegelapannya. Perumpamaan orang seperti itu laksana Taman Firdaus di puncak surga, yang sunganya tidak akan kering, dan buah-buahnya tidak akan pernah membusuk.

Ibnu Atha’illah memberikan nasehat yang ditulisnya dalam kitab al-Hikam: Jika Allah SWT membukakan untuknya satu dari sekian pintu makrifat atau pengetahuan tentang-Nya, seperti merasakan kehadiran dan pengawasan-Nya atau menyadari bahwa pelaku ibadah sesungguhnya adalah Allah SWT dan menyadari dirinya hanyalah objek penampakan perbuatan-Nya, maka saat itu ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya-tanya mengapa itu bisa terjadi sementara amal yang dilakukan baru sedikit? Karena tujuan dari semua amal adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dibukakannya pintu makrifat adalah bukti bahwa Allah SWT mengasihi dan menyayanginya. Bisa jadi, seseorang sedikit melakukan amal karena memang ia sedang sakit. Jika orang ini mendapatkan makrifat, misalnya dengan mengetahui bahwa sakit baginya lebih baik dari sehat bahkan Allah Maha Melakukan apa yang  dikehendaki-Nya, saat itu ia tidak perlu lagi mempertanyakan sedikit amalnya.

Allah membukakan untukmu pintu ma’rifat karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu, memeberimu karunia-Nya, mendekatimu, dan menampakkan sifat-sifat dan asma’-Nya untukmu. Tentu saja makrifat adalah karunia yang lebih besar dan agung untukmu dibandingkan amalan-amalan lahirmu untuk-Nya. Hadiah dari seorang budak, walaupun bernilai tinggi, tetap hina dan kecil dibandingkan hadiah dari seorang tuan walaupun itu sedikit. Hadiah dari seorang budak manfaatnya hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri, bukan tuannya.

Amal ibadah yang sedikit namun diiringi makrifat lebih baik daripada amal ibadah yang banyak tanpa makrifat. Jika seorang mendapatkan makrifat, ia harus segera menghadapkan hatinya kepada Allah agar karunia dariNya ditambah. Ia juga harus lebih memedulikan makrifat tersebut ketimbang amalan-amalan lahir yang dilakukannya. Oleh sebab itu, amalan lahir para arif yang dilakukan di akhir usia mereka cenderung menurun. Mereka selalu merindukan masa-masa dahulu ketika mereka mendapat banyak cahaya karena banyaknya amal yang mereka lakukan.

Wallahua’lam bisshawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalami Makna Literasi Lewat Diskusi

INDONESIA TAHUN 2050: MEMBACA OPTIMISME SEJARAWAN ANTHONY REID

PANDANGAN HIDUP ISLAM (WORLDVIEW ISLAM)