Ayat-Ayat Bumi, dari Refleksi hingga Konservasi
Khalilah
Nur ‘Azmy
Bulan lalu saya berkesempatan
mengunjungi Bumi Langit, sebuah tempat “Belajar” pentingnya saling hidup antara
manusia dan alam. Saya mengenal Bumi Langit dari film Semesta, sebuah film dokumenter
tentang lingkungan yang membingkai 7 sosok di 7 provinsi Indonesia. Mereka
bergerak memperlambat perubahan iklim dengan merawat alam Indonesia atas
dorongan agama, kepercayaan, dan budaya masing-masing.
Bisa ditebak, salah satu di antara 7
sosok tersebut adalah pendiri Bumi Langit, Iskandar Waworunto. Bumi Langit
menawarkan beragam hal menarik, di antaranya kursus permakultur, ladang
organik, dan tentu saja wisata kuliner yang menarik dengan konsep organik serta
pemandangan khas pegunungan Yogyakarta. Hal terakhir inilah membuat saya sukses
mengajak ke dua teman saya, Safrida dan Jagadhita serta mendapat tumpangan
gratis untuk menempuh perjalanan kurang lebih satu jam ke Lereng Timur kota
Yogyakarta.
Sesampainya di Bumi Langit,
perjalanan jauh kami terbayarkan ketika mendapatkan pemandangan alam yang indah
diiringi sepoi dan suara alam pedesaan, gemircik air dan lenguhan suara sapi.
Saya pikir, ah banyak juga tempat wisata yang menawarkan hal serupa. Tetapi
sebentar, ketika saya dan teman saya menuju musala, ada hal yang sangat
terkesan sampai detik ini.
Ketika kami menaiki tangga dari batu
dan tanah, tidak jauh dari tempat kami makan, kami melihat keran-keran air
untuk berwudhu terpasang di dinding alam, tanah dan bebatuan. Musala Bumi
Langit, terbilang cukup sederhana, dihias banyak jendela termasuk jendela yang
cukup besar tepat di depan mihrab Imam. Jika mihrab imam di musala atau masjid
kebanyakan berhadapan dengan dinding tembok atau kaligrafi, maka jendela di
depan mihrab imam tersebut menghidangkan pemandangan ketika bumi dan langit
saling bertemu. Ketika berdiri sesaat di depan jendela tersebut, saya teringat
beberapa ayat Al-Qur’an tentang Bumi dan Langit. Mungkin maksud pendirinya,
musala Bumi Langit didesain sedemikian rupa untuk mengingat dan mengagungkan
Allah melalui indahnya ciptaan-Nya.
Keindahan luasnya hamparan Bumi dan
Langit merupakan ayat atau bukti
nyata keberadaan Tuhan dalam Al-Qur’an. Tak sedikit, Al-Qur’an berbicara
tentang kekuasaan Allah dalam ayat-ayat yang menyebutkan makhluk ciptaan-Nya.
Dalam konteks ilmu Al-Qur’an, ayat-ayat ini disebut dengan ayat kauniyah. Termasuk di dalamnya disebutkan langit, bumi, dan segala isinya.
Adapun kata Bumi atau al-Ardh
berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an dalam berbagai konteks. Kompilasi
ayat-ayat tersebut, dalam tulisan ini saya sebut sebagai ayat-ayat Bumi.
Allah berfirman, “Ia-lah yang menciptakan Bumi, menghamparkan,
dan menumbuhkan di atasnya tanaman-tanaman sehingga manusia dapat mengambil
manfa’at darinya.” Keutamaan manusia untuk mengambil manfaat dari bumi
tentu tidak semena-mena, karena larangan untuk “La tufsidu fi-l-ardh,” (tidak berbuat kerusakan di Bumi) sangat
sering ditekankan. Sampai di sini,
mungkin terdengar klise. Kita semua
tahu, banyak agama menyeru pada perintah berbuat baik dengan alam. Tunggu
sebentar, sepertinya kita perlu refleksi lebih jauh agar dapat benar-benar
“Membaca” ayat-ayat bumi.
Salah satu paradigma yang menarik
dalam diskursus agama dan ekologi adalah konsep “Personhood” atau agensi yang mempunyai kesadaran, yang disematkan
pada entitas “Non-human” atau makhluk selain manusia. Di
antaranya seperti; hewan, tumbuhan, bahkan benda-benda mati lain. Berangkat
dari paradigma ini, maka refleksi tentang ayat-ayat Bumi akan menjadi lebih
hidup.
Ketika bahtera Nabi Nuh sudah
berlayar dan telah menenggelamkan kaum kafir lantaran ingkar, Allah berfirman, “Hai Bumi, telanlah airmu dan hai langit,
(hujan) berhentilah,” Q.S. 11:44. Jika ditilik pada redaksi Arab ayat
tersebut, Allah berbicara pada Bumi dan Langit “Ya Ardhi ‘Ibla’ii ma’aki” Hai
Bumi, telanlah airmu dan “Ya Samaa
Aqli’ii” Hai langit, (hujan) berhentilah. Karakter bahasa Arab yang
digunakan dalam Al-Qur’an dengan penekanan konsep mu’annats (golongan feminim) dan mudzakkar (golongan maskulin) pada kata benda dan kata kerja,
berlaku pula untuk entitas selain manusia. Dalam percakapan sehari-hari,
perintah hanya ditujukan kepada manusia dan hewan. Tetapi, Al-Qur’an
menyebutkan adanya entitas “Person” lain di luar manusia.
Konsep adanya entitas personhood dalam bahasa Al-Qur’an
sebenarnya bisa dikatakan telah menjadi perhatian ulama tafsir dan ahli bahasa.
Dalam tafsir klasik, contoh pemaknaan akan agensi “Personhood” terlihat dari pemaknaan ayat-ayat sujud dan tasbih-nya
makhluk kepada Allah. Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan bahwa segala
sesuatu di Bumi dan Langit bertasbih, dan bersujud pada Allah.
Redaksi sujudnya makhluk dalam
Al-Qur’an di antaranya terdapat dalam surat Ar-Ra’d ayat 15: “Wa Lillahi Yasjudu Man Fī As-Samāwāti
Wa Al-'Arđi Ţaw`āan Wa Karhāan Wa Žilāluhum Bil-Ghudūwi Wa Al-'Āşāli.” (Dan semua sujud kepada Allah baik yang di
langit maupun yang di bumi, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa (dan
sujud pula) bayang-bayang mereka, pada waktu pagi dan petang hari). Serta
dalam surah An-Nahl ayat 49 “Wa lillāhi
yasjudu mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍi min dābbatiw wal-malā`ikatu wa hum lā
yastakbirụn.” (Dan kepada Allah
sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata
di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan
diri.)
Perbedaan dari ayat-ayat sujud di
atas terletak pada penggunaan kata man dan ma. Ketika menafsirkan
Ar-Ra’d ayat 15 dan surah Al-Hajj ayat 18, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Man Fī As-Samāwāti merujuk pada malaikat dan Man Fi-Al-'Arđi merujuk
pada manusia. Sedangkan Ma Fī As-Samāwāti dan Ma Fi-Al-'Arđi merujuk pada entitas makluk lain selain manusia dan
malaikat. Karena redaksi kata sujud tersebut merupakan predikat yang sama pada
dua entitas yang berbeda (‘aqil dan ghairi ‘aqil) atau dalam tulisan ini
menggunakan istilah “Person” dan “Person non-human”, maka terdapat
perluasan makna sujud.
Thantawi dalam tafsir Al-Wasith
ketika mengutip pendapat dari al-Jamal menyebutkan bahwa bentuk sujud entitas
tersebut berarti inqiyadh dan khudu’ (tunduk). Qatadah memahami bahwa
bayangan benda-benda adalah sujud mereka, merujuk pada Surah An-Nahl-ayat 48 “A
wa lam yarau ilā mā khalaqallāhu min syai`iy yatafayya`u ẓilāluhụ 'anil-yamīni
wasy-syamā`ili sujjadal lillāhi wa hum dākhirụn.” (Dan apakah mereka tidak
memperhatikan suatu benda yang diciptakan Allah, bayang-bayangnya
berbolak-balik ke kanan dan ke kiri, dalam keadaan sujud kepada Allah, dan
mereka (bersikap) rendah hati).
Adapun hikmah dibalik penyebutan
sujudnya makluk selain manusia tersebut adalah sebagai peringatan terhadap
manusia agar selalu bersujud pada Allah. Tanpa menampik tujuan tersebut, setidaknya
usaha untuk memaknai adanya bentuk sujud lain, telah mengindikasikan adanya
pemaknaan personhood atau agensi pada
entitas selain manusia dalam tafsir klasik.
Elaborasi lebih lanjut yang
mengindikasikan adanya konsep personhood
dalam ayat Al-Qur’an dikemukakan oleh ahli tafsir yang datang belakangan.
Ulasan yang menarik dan cukup mutakhir tentang perkembangan konsep tersebut
dikemukakan oleh Samsul Maarif dalam Being
Muslim in Animistic Ways dan juga
M. Kalimullah yang melakukan analisis morfologis dan semantik atas kategori
Person dalam ayat tasbih dan sujud.
Kesimpulan pendeknya adalah Bumi dan segala makhluk di dalamnya memiliki
agensi personhood layaknya manusia dalam beribadah kepada Allah.
Dari ulasan di atas, dapat
direnungkan jika seorang muslim dilarang mendzolimi atau menyakiti saudara
sesama manusia, maka begitu juga seharusnya sifat terhadap Bumi. Bumi adalah
rekan ibadah yang tidak pernah ingkar pada Allah. Oleh karena itu, ia berhak
diperlakukan sama. Sampai di sini apakah masih terdengar klise? Ada saja pendapat bahwa menyelamatkan Bumi bukan tugas utama
kita. Wacana save earth adalah wacana
Barat. Kerusakan Bumi adalah takdir Allah, toh nanti juga kiamat. Nah, justru
pada pemahaman inilah terletak pentingnya nilai refleksi.
Belajar dari Bumi Langit dan
praktik-praktik pro-lingkungannya, Iskandar Waworunto menyebutkan bahwa Islam
sebenarnya menyediakan petunjuk-petunjuk yang luar biasa tentang peran manusia
terhadap alam. Kehidupan modern telah membuat relasi manusia dengan banyak hal,
termasuk alam dan Bumi kian jauh. Berangkat dari pemahaman akan agensi Bumi dan
makluk hidup lain yang layak dianggap “Person,”
maka lahirlah refleksi bahwa, “Apa yang kita ambil dari Bumi, harus
dikembalikan ke Bumi.” Layaknya manusia yang meminjam barang pada manusia lain,
maka apa yang kita pinjam dari Bumi harus dikembalikan pada Bumi.
Ketika Allah mengizinkan manusia
mengambil manfaat dari Bumi, bukan berarti Ia mengizinkan merusaknya. Usaha
untuk menjamin dan mengembalikan kondisi awal tanah melalui pemupukan alami dan
reboisasi harus ditekankan ketika bercocok tanam. Dalam hal ini, Bumi Langit
menawarkan konsep sistem pertanian dan peternakan swadaya berdasarkan ekosistem
alam yang umum dikenal sebagai teknik premakultur.
Teknik premakultur memiliki prinsip
peduli Bumi, karena tanpa Bumi yang sehat, manusia tidak bisa sejahtera.
Prinsipnya, kebutuhan manusia dapat terpenuhi tanpa merusak rantai ekosistem
yang ada di Bumi (bumilangit.org). Usaha-usaha untuk konservasi Bumi inilah
menjadikan manusia layak untuk diberi gelar “Khalifah
fi-l-ardh,” sebuah dalih yang kerap kali dipakai manusia untuk berkuasa
pada Bumi. Padahal sejatinya, gelar tersebut merupakan tanggung jawab besar
untuk melakukan usaha konservasi dari refleksi akan “Ayat-ayat Bumi.”
Banyak tindakan yang tanpa kita
sadari telah mendzolimi Bumi. Tindakan tersebut contohnya berlebihan dalam
konsumsi makanan dengan kemasan plastik, tidak memilahnya, dan membuangnya
sembarangan ke tanah atau ke sungai. Komitmen
untuk meminimalisir hal tersebut harus menjadi komitmen pada diri sendiri, lalu
pada lingkungan sekitar. Tentu, sebagai orang awam, penulis pun masih jauh dan
masih belajar untuk ikut serta dalam usaha konservasi. Tetapi, satu hal yang
saya rekam dari Iskandar, ia berkata: “If
you take Islam seriously, and you love it, you must be able to sacrifice.”
Tidak hanya melalui Bumi Langit kita dapat menemukan refleksi untuk melakukan konservasi. Tetapi, di belahan Bumi manapun, ketika kita ingat dan mendengar “Ayat-ayat Bumi” hendaknya ada semangat untuk belajar, menyimak, dan mendukung usaha konservasi. Jikalau masih ingin dan hendak belajar di Bumi-Langit pun, tak apa-apa. Asalkan ditraktir makan di sana, saya siap menemani.
Edited: elmaliki
Komentar
Posting Komentar